Rabu, 10 September 2014

WAWANCARA PEKERJAAN DAN TES PSIKOLOGI: PROBLEM DAN SOLUSINYA

WAWANCARA PEKERJAAN DAN TES PSIKOLOGI:
PROBLEM DAN SOLUSINYA

Arundati Shinta

Menghadiri suatu wawancara pekerjaan dan tes psikologi ibaratnya melangkah ke tiang gantungan. Itu adalah fenomena yang sering menghinggapi para fresh graduate yang sudah merasa sudah kalah sebelum berperang. Mengapa demikian? Satu fakta yang harus dihadapi para pencari pekerjaan itu adalah bersaing dengan mantan karyawan yang terkena PHK atau program pensiun dini. Para mantan itu tentu saja lebih berpengalaman dalam segala macam seleksi pekerjaan dan juga ‘jam terbangnya’ sudah tinggi. Jadi para fresh graduate itu harus bagaimana?

Satu hal yang perlu diingat bahwa tidak semua organisasi itu memihak pada para mantan karyawan, ketika organisasi itu mengadakan recruitment. Mungkin saja organisasi itu justru lebih suka pada calon karyawan yang baru saja lulus dari sekolah/perguruan tinggi. Mereka ini dianggap lebih ‘bisa diatur’ agar sesuai dengan iklim organisasi. Ini tentu saja menyenangkan bagi organisasi. Meskipun demikian, tidak sembarang fresh graduate dapat langsung menjadi karyawan. Mereka harus melewati serangkaian ujian, antara lain wawancara pekerjaan dan tes psikologi. Jadi apa yang harus dipersiapkan para pemburu pekerjaan itu dalam menghadapi peristiwa yang mendebarkan itu?

PERLUKAH TES PSIKOLOGI DALAM SELEKSI KARYAWAN?

Perlu tidaknya pengadaan tes psikologi dalam seleksi pegawai memang masih menjadi perdebatan yang berkepanjangan. Memang diakui bahwa keberadaan tes psikologi akan mempercepat proses pemilihan pegawai yang tepat (the right man on the right job). Sebab tes psikologi itu ternyata lebih cepat dalam mendeteksi orang yang tidak siap menerima tugas organisasi. Ini tercermin dari hasil tes yang ada di bawah ukuran standar. Jadi mungkin saja terjadi suatu seleksi pegawai memakai prosedur yang panjang, mulai dari wawancara singkat lewat telepon, tes administrasi, tes akademik, tes psikologi I, tes psikologi II, dst, wawancara I, wawancara II dst, diskusi kelompok, sampai pada masa percobaan.

Bahkan bisa saja terjadi suatu seleksi pegawai tanpa melalui tes apa pun juga. Ini semua tergantung pada tingkat kepentingan posisi pekerjaan yang ditawarkan, keahlian dan kepemilikan lisensi dari orang yang menangani tes, ada atau tidaknya alat tes, jumlah pelamar, waktu dan biaya yang disediakan oleh organisasi untuk pengangkatan pegawai baru ini.

Bila organisasi sudah memutuskan bahwa tes psikologi merupakan salah satu materi seleksi pagawai, maka pihak manajer personalia biasanya sudah mengantisiapasi akan timbulnya persepsi yang buruk tentang tes psikologi. Persepsi buruk ini bisa berasal dari para pelamar ataupun dari pihak pimpinan organisasi. Persepsi buruk itu misalnya (Yoder, 1979):

*) Interpretasi tes psikologi itu misterius dan dapat disalahgunakan
*) Tes psikologi itu hanya menguntungkan individu dengan latar belakang kebudayaan tertentu saja (culture-bound)
*) Tes psikologi itu terlalu mencampuri urusan pribadi
*) Hasil-hasil tes psikologi itu tidak relevan dengan analisa jabatan dari pekerjaan tersebut.

Untuk mengatasi kritik-kritik terhadap tes psikologi itu, bagian personalia biasanya sudah terlebih dahulu mendemonstrasikan tentang relevansi tes psikologi dengan persyaratan-persyaratan pekerjaan dihadapan pimpinan organisasi dan manajer yang lainnya. Selain itu bagian personalia juga akan memberikan jaminan bahwa tes psikologi hanya akan disajikan dengan cara-cara yang sudah baku, diberikan serta diinterpretasi oleh orang yang benar-benar ahli dan mempunyai lisensi untuk mengadakan penyelidikan tes psikologi.

Untuk menghindari penyalahgunaan data, semua informasi tentang pelamar akan dijaga kerahasiaannya secara profesional. Para pelamar tidak akan dirugikan pada masa yang akan datang. Kemudian untuk menghindari pengaruh kebudayaan, bagian personalia juga tidak akan gegabah menyusun suatu baterei tes yang belum diukur tingkat validitas dan reliabilitasnya untuk penduduk Indonesia. Suatu alat tes sudah dianggap baik untuk suatu negara, tidak akan dengan sendirinya bisa diterapkan untuk penduduk Indonesia. Materi tes harus disesuaikan terlebih dahulu dengan kondisi penduduk Indonesia.

Diantara banyaknya persoalan tentang keberadaan tes psikologi, terutama tes bakat dan tes kemampuan, mungkin kita juga perlu mengingat gugatan dari Daniel Goleman dalam bukunya yang sangat laris yaitu Emotional Intelligence, Why It Can Matter More Than IQ. Goleman menggugat apakah IQ menentukan nasib? Apakah IQ tinggi adalah jaminan bagi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan bergengsi, gaji besar, hidup sukses? Ternyata hal yang paling menentukan kesuksesan seseorang adalah kepiawaiannya dalam menangani emosinya. Artinya, ia bisa marah pda orang yang tepat, memilih situasi yang tepat, dan dengan cara yang tepat pula. Jadi orang yang dapat mengontrol emosinya berarti ia mempunyai ketrampilan sosial yang tinggi pula. Kualitas-kualitas individu semacam inilah yang justru banyak dicari oleh pemilik organisasi untuk dijadikan karyawannya yang tangguh.

Sekali lagi perlu ditekankan bahwa tes psikologi itu bukan segala-galanya. Sebab, banyak juga aspek kejiwaan seseorang yang tidak bisa diungkap dengan tes psikologi. Aspek kejiwaan itu justru bisa tampak dalam wawancara, dan masa-masa percobaan (masa menjadi calon pegawai). Oleh karena itu, pelamar tidak perlu gentar dalam menghadapi tes psikologi.

KIAT MENGHADAPI TES PSIKOLOGI

Bagi para pencari pekerjaan yang telah berkali-kali gagal dalam tes psikologi dan yang belum pernah mengalami tes psikologi tentu akan merasa kebingungan ketika menjalani tes psikologi. Mereka selalu merasa penasaran dan mencari kiat-kiat praktis agar bisa mengerjakan tes psikologi dengan ‘baik’. Istilah ‘baik’ ini ternyata mempunyai makna yang berbeda antara pihak pencari pekerjaan dan penyelenggara tes. Para pelamar mempersepsikan bahwa hasil tes psikologi yang baik yaitu tingginya nilai yang diperoleh, bahkan kalau bisa melebihi nilai standar dan saingan-saingan lainnya.

Di lain pihak, penyelenggara tes mempunyai persepsi bahwa hasil tes yang baik yaitu hasil yang dapat mencerminkan bakat, kemampuan, kepribadian, dan minat individu yang optimum. Jadi hasil yang optimum bagi seorang pelamar, tentu berbeda dengan pelamar yang lain, dan mungkin berbeda (lebih rendah/tinggi) dengan ukuran penyelenggara tes. Karena perbedaan-perbedaan persepsi inilah ditambah dengan ‘kemisteriusan’ tes psikologi, maka banyak orang berlomba-lomba belajar tes psikologi dengan berbagai cara. Sebenarnya, apakah ada saran-saran praktis untuk menghadapi tes psikologi?

Agar mendapatkan hasil tes psikologi yang optimum, maka Suryobroto (1990:85-86) memberikan saran jitu. Saran itu ialah individu harus memiliki sifat-sifat tertentu yang sesuai dengan dasar pikiran dalam penyusunan alat tes psikologi itu. Apa saja sifat-sifat itu?

·         Pertama, individu harus menurut saja tanpa memberi kritik-kritik terhadap petunjuk yang ada dalam tes psikologi. Bila ia mempunyai pendapat yang berbeda tentang cara penyelesaian suatu soal dala tes dan hal itu ternyata tidaks esuai dengan prosedur tes, maka ia akan mendapatkan nilai yang rendah. Ini tentu saja sangat merugikan individu. Oleh karena itu, ketika ujian berlangsung para pelamar harus benar-benar menyimak petunjuk tes, kalau perlu bertanya kepada pengawas. Sebab bila tes telah berlangsung segala pertanyaan dan protes yang muncul tidak akan ditanggapi.

·         Kedua, individu harus mempunyai dorongan bersaing yang besar. Artinya ia harus bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam mengerjakan tes secara mandiri dan tidak boleh bergotong-royong dengan pelamar yang lain. Meskipun prinsip gotong-royong itu baik, tetapi dalam pengerjaan tes psikologi prinsip itu membuat individu berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Bila ada individu yang sebenarnya cukup cerdas tetapi dorongan bersaingnya kecil maka ia akan gagal dalam tes psikologi ini.

Saran praktis yang lain yaitu individu harus tampil dalam keadaan fisik dan psikhis yang prima. Tidak ada gunanya belajar tes psikologi dengan cara melembur semalaman, dengan harapan bisa sukses dalam tes psikologi. Kondisi fisik yang tidak menguntungkan ini justru akan membuyarkan konsentrasi para pelamar dalam mengerjakan tes. Dan yang juga penting jangan lupa makan pagi, kalau perlu membawa bekal makanan. Ini karena tes psikologi kadang kala dilaksanakan mulai dari pagi sampai sore dan belum tentu pihak organisasi menyediakan makanan.

Hal lain yang tidak kalah penting yaitu para pelamar tidak perlu mencari bimbingan tes untuk berlatih mengerjakan tes psikologi ini pada mahasiswa atau sarjana psikologi. Sebab mereka memang tidak diijinkan untuk membocorkan tes psikologi. Itu memang bagian dari kode etik psikologi yang harus dipegang teguh. Selain itu, soal-soal dalam tes psikologi milik mahasiswa psikologi belum tentu sama dengan soal-soal yang diujikan oleh organisasi. Alasan lain adalah soal-soal dalam tes psikologi itu ternyata mudah, bisa diselesaikan dengan nalar dan logika. Tes tersebut bukan seperti soal pada ujian matematika yang sangat terkenal kecanggihannya. Jadi individu tidak perlu memaksa diri dan berburu tes psikologi.

Percaya diri merupakan bekal yang juga penting dalam menghadapi tes psikologi. Orang yang tidak percaya diri tentu akan mengok kiri-kanan ketika mengerjakan tes psikologi. Menurut perspsinya, garapan milik orang lain lebih benar, lebih baik daripada milik sendiri. Padahal itu tidak benar. Belum tentu pelamar lain tahu akan jawaban yang tepat.

Satu kelebihan dari para mahasiswa/sarjana psikologi dalam mengikuti tes psikologi adalah mereka lebih percaya diri. Ini karena mereka sudah terbiasa dengan persoalan-persoalan semacam itu (meskipun mereka tidak hapal dengan kunci jawabannya). Mereka sudah mengetahui petunjuk-petunjuk pengerjaan tes tanpa harus menunggu instruksi dari penyelenggara tes. Jadi, mereka sudah terlatih untuk waspada terhadap pengaturan waktu. Kondisi semacam itu sangat berbeda untuk pelamar yang baru pertama kali menjalani tes psikologi. Pelamar menjadi grogi, hilang konsentrasi, dan ia cenderung tidak mampu memberikan hasil yang optimum.


BAGAIMANA DENGAN TES WAWANCARA PEKERJAAN?

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa kematangan emosi jauh lebih tampak ketika pelamar menghadapi wawancara pekerjaan daripada tes psikologi. Kematangan emosi memang tidak dapat diperoleh dalam jangka waktu satu atau dua hari. Itu memang membutuhkan proses yang bertahun-tahun dan itu pun diperoleh dengan usaha yang tidak kenal putus asa. Ibaratnya seseorang harus berkorban ‘darah dan air mata’ dahulu baru ia dapat matang emosinya.

Meskipun demikian, para pelamar yang merasa belum matang emosinya tidak perlu gentar dalam menghadapi tes wawancara. Mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebelum tes, adalah langkah awal yang patut dipuji. Salah satu persiapan itu ialah memahami jenis-jenis pertanyaan yang sering muncul dalam wawancara pekerjaan. Contohnya antara lain:

*) Dari mana Anda tahu organisasi ini?
*) Apakah Anda adalah orang yang tepat untuk posisi yang ditawarkan ini?
*) Apa rencana pekerjaan Anda bila sudah diterima di organisasi ini?
*) Berapa gaji yang diminta?
*) Untuk apa saja uang sebanyak itu?
*) Punya pengalaman pekerjaan?
*) Kalau dulu sudah punya pekerjaan, mengapa keluar?
*) Punya pengalaman berorganisasi?
*) Kapan Anda lulus sekolah/perguruan tinggi?
*) Kalau lulusnya sudah lama, berarti Anda punya waktu luang yang banyak. Lalu       
   apa saja yang Anda lakukan untuk mengisi waktu?
*) Apa hobi Anda?
*) Anda bersedia ditempatkan di kantor cabang kami di luar pulau Jawa?
*) Kapan menikahnya?
*) Apa yang Anda lakukan ketika menghadapi bawahan yang lebih tua, lebih         
   berpengalaman, namun tidak mau bekerja sama?
*) Apa yang Anda lakukan ketika menghadapi atasan yang lebih muda, tidak         
   berpengalaman, namun sok tahu?
*) Apa yang Anda lakukan untuk menyusun team work yang baik?

Daftar pertanyaan ini bisa lebih panjang lagi, tergantung banyak hal antara lain pentingnya posisi yang ditawarkan, minat organisasi terhadap pelamar, jumlah pelamar, jumlah pewawancara, pengalaman pewawancara, dan waktu yang disediakan untuk wawancara. Para pelamar hendaknya belajar menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Kalau perlu, berlatih pada orang yang benar-benar mengetahui prosedur wawancara pekerjaan. Berlatih menjawab pertanyaan ini tidak berarti berlatih berbohong. Ini karena pewawancara akan segera mengetahui kebohongan pelamar dari jawaban-jawaban yang diberikan.

Oleh karena itu para pelamar perlu mengetahui makna dibalik pertanyaan-pertanyaan itu. Contohnya pada pertanyaan: “Apakah Anda mempunyai pengalaman pekerjaan?”. Para fresh graduate tentu akan gentar menghadapi pertanyaan ini karena merasa belum pernah bekerja. Dari daftar riwayat hidup yang dikirimkan pelamar, sebenarnya pewawancara sudah tahu bahwa pelamar itu tidak mempunyai pengalaman pekerjaan formal. Namun ia ingin mengetahui apakah pelamar pernah bekerja secara informal. Pekerjaan informal itu misalnya membantu orangtua menjaga warung, menjual dagangan dari rumah ke rumah, menerima terjemahan teman-teman, memberi les menari, dan sebagainya. Pekerjaan itu pernah dilakukan, tetapi pelamar tidak dapat memberikan bukti formal seperti surat keterangan dan sebagainya.

Kalau memang pelamar mempunyai pengalaman informal semacam itu, maka ia hendaknya secara rinci menggambarkan pekerjaan itu. Apalagi kalau pekerjaan itu berhubungan dengan hobi serta menunjang posisi yang akan dilamar. Pelamar semacam itulah yang dicari. Alasannya, pelamar semacam itu mampu menunjukkan kreatifitas pekerjaan, bertanggung jawab, mempunyai mental wirausahawan, mandiri, kemampuan mengelola keuangan, pandai berteman, mampu memimpin dirinya sendiri. Jadi yang dipentingkan di sini adalah aktifitas pelamar dalam mengisi waktu luangnya, bukan jumlah rupiah yang dihasilkan dari pekerjaan informal tersebut.

Kemudian pertanyaan tentang: “Berapa gaji yang Anda minta?”. Pelamar mungkin berpikir berapa saja yang diberi organisasi, akan diterimanya. Pikiran semacam itu sangat tidak disukai oleh pewawancara. Karena hal ini menunjukkan pelamar itu sempit wawasannya. Pelamar yang seperti itu biasanya telah terbiasa meminta uang dan segala kebutuhannya pada orangtuanya. Jawaban itu juga menunjukkan pelamar kurang pergaulannya. Orang yang pergaulannya luas, biasanya juga mempunyai jaringan informasi yang luas dan kuat, termasuk informasi tentang gaji.

Lalu bagaimana kalau ia memang benar-benar tidak tahu berapa gaji yang diminta? Mungkin sebaiknya jujur saja bahwa ia tidak tahu jawabannya. Dalam menghadapi situasi yang menegangkan ini, seorang pewawancara yang baik tentu akan menunjukkan batas atas dan bawah gaji yang akan diterima serta fasilitas lainnya. Ini juga sebagai bahan pertimbangan bagi pelamar untuk menerima atau menolak pekerjaan itu, berkenaan dengan kemampuan organisasi dalam memberikan gaji.

PENUTUP

Sebagai penutup dari tulisan ini, ingin sekali saya menekankan bahwa tes psikologi dalam seleksi pekerjaan bukanlah segala-galanya. Lulus tes psikologi bukan jaminan untuk sukses dalam bekerja. Begitu juga sebaliknya, orang yang tidak lulus tes psikologi belum tentu hidupnya gagal. Oleh karena itu sangat disarankan para pelamar tidak perlu gentar dalam menghadapi tes psikologi.

Kemudian untuk menghadapi tes wawancara pekerjaan, sangat disarankan pelamar mampu membawa diri, mempromosikan diri, dan menampilkan citra diri yang positif. Bila pelamar gagal dalam tes psikologi dan tes wawancara ini berarti kemampuan pelamar tidak sesuai dengan persyaratan posisi yang ditawarkan, atau ada pelamar lain yang lebih sesuai dengan lowongan itu. Berulangkali gagal dalam seleksi pekerjaan hendaknya membuat pelamar mawas diri. Mungkin saja potensi diri yang selama ini terpendam belum teraktualisasikan dengan optimum. Untuk menggambarkan hal itu, saya sangat setuju dengan ungkapan yang mengatakan: “Gagal itu biasa. Bangkit dan mencoba lagi itu baru luar biasa”.


0 komentar:

Posting Komentar